Gunung yang terkenal dengan julukan Seven Summits of Java (Tujuh Puncak Pulau Jawa) pun kerap dikunjungi pendaki yang ingin berziarah maupun menggelar ritual di puncak Gunung Lawu meski suhu disana bisa mencapai minus lima derajat celcius.
Gunung Lawu konon termasuk paling angker dan menyimpan banyak cerita mengenai keberadaan Raja Majapahit yang terakhir Prabu Brawijaya V.
Bahkan gunung ini kerap menelan korban para pendaki yang tidak berhati-hati. terakhir pada 19 Oktober lalu di mana tujuh pendaki ditemukan tewas terbakar di Gunung Lawu
Hingga kini Gunung Lawu yang memiliki tiga puncak ini yaitu Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah diyakini dijaga oleh dua makhluk gaib yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala.
Konon kedua penjaga ini tadinya adalah manusia biasa. Mereka adalah kepala dusun di sekitar kaki Gunung Lawu yang menemani Prabu Brawijaya V saat mengasingkan diri di gunung tersebut. Kisah keduanya diceritakan turun temurun oleh penduduk di sekitar kaki gunung tersebut.
Karena kesetiaannya saat menemani Prabu Brawijaya V, Dipa Menggala diangkat menjadi penguasa Gunung Lawu membawahi semua mahluk gaib.
Wilayah kekuasaannya ke barat hingga Gunung Merapi, Merbabu; ke timur hingga Gunung Wilis; ke selatan hingga Pantai Selatan; ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Sementara Wangsa Menggala diangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kiai Jalak.
Sementara ketiga puncak gunung tersebut juga menjadi tempat yang dianggap sakral di Tanah Jawa. Puncak Hargo Dalem misalnya diyakini sebagai tempat moksa (menghilangnya) Prabu Brawijaya V setelah memeluk agama Islam.
Puncak Hargo Dumiling
konon dipercaya sebagai tempat moksanya Ki Sabda Palon yang merupakan abdi
setia dari Prabu Brawijaya V.
Sementara puncak Hargo
Dumilah merupakan tempat meditasi bagi penganut kejawen.
Selain itu ada daerah yang warganya dipantang untuk mendaki Gunung Lawu yaitu Cepu Blora. Konon pantangan ini bermula saat Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri dikejar pasukan pimpinan Adipati Cepu yang bermaksud menangkapnya hidup atau mati.
Karena Prabu Brawijaya V merupakan musuh bebuyutan Adipati Cepu. Namun tak satu pun dari pasukan Cepu yang berhasil menangkap Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri ke arah puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara.
Di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V mengeluarkan sumpah kepada Adipati Cepu yang konon isinya jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu.
Selain itu ada daerah yang warganya dipantang untuk mendaki Gunung Lawu yaitu Cepu Blora. Konon pantangan ini bermula saat Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri dikejar pasukan pimpinan Adipati Cepu yang bermaksud menangkapnya hidup atau mati.
Karena Prabu Brawijaya V merupakan musuh bebuyutan Adipati Cepu. Namun tak satu pun dari pasukan Cepu yang berhasil menangkap Prabu Brawijaya V yang mengasingkan diri ke arah puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara.
Di puncak Gunung Lawu, Prabu Brawijaya V mengeluarkan sumpah kepada Adipati Cepu yang konon isinya jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu.
Lalu sumpah Prabu Brawijaya V ini sampai sekarang tuahnya masih diikuti oleh orang-orang dari daerah Cepu terutama keturunan Adipati Cepu yang ingin mendaki ke Gunung Lawu, mereka masih merasa takut jika melanggarnya.
Selain ketiga puncak yang sering dikunjungi pendaki ada dua tempat yakni yang Sendang Panguripan dan Drajat yang kerap didatangi para peziarah.
Sendang Panguripan diyakini memiliki kekuatan magis karena di sendang ini sumber airnya pernah dimanfaatkan oleh Prabu Brawijaya V ketika bersemedi di Gunung Lawu.
Sehingga para peziarah memanfaatkan air tersebut dengan ritual mandi karena dipercaya sangat berkhasiat. Ritual ini kerap dilakukan peziarah pada malam hari dengan suhu yang sangat dingin.
Sama seperti Sendang Panguripan di Sendang Drajat pun airnya sering dimanfaatkan oleh para peziarah dengan melakukan ritual. Konon airnya juga dipercaya memiliki kekuatan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Sementara menurut cerita leluhur yang didapat dari Sardi salah satu pemilik warung di sekitar pos pendakian Cemoro Kandang, Gunung Lawu juga merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa.
Kegiatan itu berhubungan dengan tradisi dan budaya Keraton Solo dan Yogyakarta misalnya upacara labuhan setiap bulan Suro.
Sardi menjelaskan, setiap pendaki yang pernah naik ke puncak Lawu pasti memahami berbagai larangan tidak tertulis yang harus dipatuhi.
Misalnya ketika akan mendaki Gunung Lawu adalah dilarang berbicara sembarangan ketika sedang dalam perjalanan menuju puncak. Bila pantangan itu dilanggar si pendaki diyakini bakal bernasib nahas.
“Tidak boleh mengeluh capai, nanti tiba-tiba stamina kita akan mendadak menurun. Jika berkata dingin maka kita akan kedinginan,” jelasnya.
Seperti kebanyakan gunung yang ada di Indonesia yang kental dengan aura mistis, gunung Lawu memiliki pasar yang disebut pasar setan.
Yaitu pasar yang tak terlihat dengan kasat mata. Hanya terdengar suara ramai saja namun tidak semua orang bisa mendengarnya.
Pasar ini terletak di lereng Gunung Lawu dekat pos V yang biasa ditempuh lewat jalur Cemoro Kandang.
Karena jalur ini dipercaya sebagai jalur perlintasan ke alam gaib oleh para penjiarah dan pendaki yang ingin melakukan ritual.
Selain mendengar berbagai cerita mistik dari para pendaki yang istirahat di warung miliknya, Sardi juga pernah mengalami hal yang sama sewaktu mudanya dulu.
“Dulu saya pernah sekali mengalami. Makanya jika sedang mendaki dan mendengar suara berbahasa Jawa yang menanyakan ‘arep tuku apa mas’, [beli apa mas] segera saja buang uang berapa saja. Yang pasti buang di sekitar tempat di mana kita mendengar suaranya. Terus petik daun di sekitar tempat itu seperti kita sedang belanja,” ujarnya.
Kadang kala, kata Sardi juga muncul kupu-kupu berwarna hitam, namun di tengah kedua sayapnya terdapat bulatan besar berwarna biru mengkilap.
“Katanya jika melakukan pendakian, melihat kupu-kupu dengan ciri seperti itu adalah pertanda bahwa kehadiran pendaki disambut baik [diizinkan] oleh penjaga Gunung Lawu. Jangan pernah menganggu, mengusir dan membunuhnya,” ungkapnya.
Yang paling penting, lanjut dia, adalah pantangan mengenakan baju berwarna hijau daun, dan dilarang mendaki Puncak Lawu dengan rombongan yang berjumlah ganjil.
“Jangan naik puncak jika jumlah pendakinya ganjil, takutnya nanti akan tertimpa kesialan. Satu hal lagi yang harus diingat, jika tiba-tiba ada ampak-ampak [kabut dingin] yang di barengi suara gemuruh, jangan nekat naik. Turun saja atau berbaring tertelungkup di tanah,” timpalnya.
Disamping kaya dengan sejarah dan misteri Gunung Lawu juga kaya akan berbagai obyek wisata seperti Air Terjun Grojogan Sewu, Telaga Sarangan, Candi Cetho dan Candi Sukuh.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 -
08122908585