Selasa, 27 Maret 2018

Menelisik Dunia Alam Gaib dan Suasana Kehidupannya

Dalam dunia ini sebenarnya memiliki tujuh macam alam ghaib dan kehidupan, termasuk alam yang dihuni oleh manusia. Masing-masing alam ditempati oleh bermacam-macam mahkluk. Mahkluk-mahkluk dari tujuh alam tersebut, pada prinsipnya mereka mengurusi alamnya masing-masing. Aktivitas mereka tidak bercampur, setiap alam mempunyai urusannya masing-masing.

Dari tujuh alam itu hanyalah alam manusia yang mempunyai matahari dan penduduknya yang terdiri dari manusia, binatang dan lainnya yang juga mempunya badan jasmani.
Sedangkan penghuni 6 akam lainnya   mereka mempunyai badan dari cahaya atau yang secara populer dikenal sebagai mahkluk halus, mahkluk yang tidak kelihatan. Di 6 alam tersebut tidak ada hari yang terang berderang seperti alam manusia karena tidak ada matahari. Menurut literatur, Keadaannya seperti suasana malam yang cerah dibawah sinar bulan dan bintang.
Inilah Alam Mahkluk HalusTersebut:
1. Alam Kajiman Yakni mereka yang hidup di rumah-rumah kuno masyarakat yang bergaya aristokrat, hampir sama dengan bangsa siluman tetapi mereka biasanya tinggal di daerah-daerah pegunungan dan tempat- tempat yang berhawa panas. Dan dikenal dengan sebutan merak Jim oleh masyarakat.
2.  Alam Roh. Selain tujuh macam alam tersebut, ada sebuah saluran yang terjepit, dimana roh-roh dari manusia-manusia yang jahat menderita karena kesalahan yang telah mereka perbuat pada masa lalu. Suara desisan di puncak-puncak gunung adalah suaran roh-roh  yang sedang menderita siksaan, terkada beberapa masyarakat menamainya sebagai roh yang bergentayangan atau gambaran bagi manusia yang masih hidup, begitulah keadaan di alam ghaib ini.
3. Siluman Mahkluk Halus. Bangsa ini tinggal didaerah yang ber air seperti di danau-danau, laut, samudera dan lainnya, masyarakat siluman diatur seperti masyarakat jaman kuno. Mereka mempunyai Raja, Ratu, Golongan Aristokrat, Pegawai-pegawai Kerajaan, pembantu-pembantu, budak-budak di alam ghaib ini. Mereka itu tinggal di Keraton-keraton, rumah-rumah bangsawan, rumah-rumah yang bergaya kuno.
4. Sarpo Bongso-Penguasa Rawa Pening, Sebuah danau besar yang terletak di dekat kota Ambarawa antara Magelang dan Semarang. Sarpo Bongso ini siluman asli, yang telah tinggal di telaga tersebutdalam waktu yang lama bersama dengan penduduk golongan siluman. Sedangkan kanjeng Ratu Kidul bukanlah asli siluman, beberapa pendapat mengatakan, bahwa beberapa abad yang lalu ratu kidulmerupakan seorang Gusti dikerajaan di Jawa, tetapi patihnya Nyai Roro Kidul adalah siluman asli sejak beberap ribu tahun yang lalu, sehingga sampai sekarang ketenaran dan ceritanya hingga sekarang masih kita dengar.
5. Alam Demit. Bangsa ini bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang hijau dan lebih sejuk, rumah-rumah mereka bentuknya sederhana, yakni terbuat dari kayu dan bambu, mereka itu seperti manusia, namun bentuk badannya lebih kecil. Ibaratnya masyarakat yang telah teratur dan juga seperti alam ghaib Merkayangan, Siluman, Kajiman, dan Demit.
6.  Merkayangan. Kehidupan di saluran ini hampir sama seperti kehidupan di dunia manusia, hanya saja sinar matahari tidak ada. Dalam dunia merkayangan, menurut beberapa sumber, mereka juga mempunyai kebiasaan seperti merokok, rokok yang sama seperti dunia manusia, membayar dengan uang yang sama, memakai macam pakaian yang sama, ada banyak mobil yang jenisnya sama di jalan-jalan, ada banyak pabrik-pabrik persis seperti di dunia manusia. Yang mengherankan adalah, mereka itu memiliki tehnologi yang lebih canggih dari manusia, kota-kotanya lebih modern ada pencakar langit, pesawat-pesawat terbang yang ultra modern serta lainnya. Ada juga hal-hal yang mistis di alam ghaib dunia Merkayangan ini, terkadangjika mereka menginginkan manusia dalam sebuah acara yang mereka rayakan, mereka juga akan mengundangnya, seperti dalam acara; melaksanakan pertunjukkan wayang kulit, menghadiri upacara perkawinan, bekerja di batik, rokok sebagaimana manusia pada biasanya, hingga upah mereka-pun sama dengan manusia di dunia ini.
Begitulah kiranya Alam ghaib yang ada, maha besar Allah SWT atas segala ciptaan dan kehendaknya, sehingga siapapun patut dan wajib sujud dan hanya berharap pada-NYA.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria

  
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585


Gunung Penanggungan, Konon Tempat Ngangsu Kawruh Prabu Airlangga

 Ketokohan Airlangga (990 -1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan. Airlangga yang diartikan sebagai “Air yang melompat” memerintah 1009-1042. Sebagai seorang raja, ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (jadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengaku keturunan Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Airlangga menikah dengan putri pamannya Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Wwatan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang Desa Ngloram, Cepu, Blora, Jawa Tengah), yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya.
Kejadian tersebut tercatat dalam Prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas yang diperkirakan berada di Kecamatan Ngoro, Mojokerto, dekat Gunung Penanggungan yang memiliki kemiripan nama dengan salah satu desa di kecamatan tersebut yaitu desa Wotan Mas.
Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India.
Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa. Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya.
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya.
Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Gunung Penanggungan
Gunung Penanggungan yang nama aslinya Gunung Pawitra terletak antara Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto, dan sisi utaranya berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo tempat Kerajaan Kahuripan. Gunung Penanggungan adalah satu–satunya gunung yang menyimpan paling banyak bukti–bukti arkeologi tentang sejarah Indonesia dimasa lampau.
Percandian, patung–patung dan artefak yang dibangun mulai abad VIII dijaman Mpu Sendok dan Airlangga (Kerajaan Medang dan Kahuripan) sampai dengan akhir abad 16 (Kerajaan Majapahit akhir).
Menurut Budayawan, Gatot Hatoyo, pengertian Pawitra, Tirta Pawitra/Tirta Oerwita/Tirta Amerta atau Air Suci adalah ilmu pengetahuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Gunung Pawitra adalah tempat menimba ilmu pengetahuan karena pada masa itu, ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang suci.

Kehidupan belajar mengajar di Gunung Penanggungan, menyatu dengan pola hidup sehat di gunung, sekaligus melatih konsentrasi kepekaan indra dan inilah yang dimaksud dengan Pertapa.
Airlangga, yang menurut Prasasti Pamwatan bertahun 964 saka (1042 Masehi), lengkapnya: SRI MAHARAJA SRI LAKESWARA DHARMAWANGSA ERLANGGA ANANTAWIKRAMA UTTUNGADEWA, setelah wafat diabadikan dalam bentuk patung Bathara Guru dan ditempatkan di Patirtan Jolotundo serta di Partitan Belahan, sebagaimana bunyi Prasasti Pasar Legi yang bertarekh 965 Saka (1043 Masehi) nama lengkapnya: PADUKA MPUNGKU BHATTARA GURU SANG PINAKA CANTRANTING BHAWANA.
Dari panel–panel relief yang terpampang di banyak percandian yang umumnya berupa sinopsis yang sebagian menggambarkan tentang Murwakala, dapat ditarik kesimpulan bahwa Maharaja Airlangga setelah lengser keprabon (purna tugas), memilih sebagai pendidik / pengajar, sebagai Guru Besar / Maha Guru atau Bathara Guru.
Sebutan Bathara Guru adalah nama sesosok mahadewa dalam beberapa mitologi Jawa (masyarakat Jawa). Namun, para peneliti bangsa barat sering mengidentikan Bathara Guru dengan Wisnu atau Maha Siwa yang merupakan faham India.
Berikut situs (percandian) disekitar Gunung Penanggungan, antara lain : Patirtan Jolotundo, Candi Selokelir, Candi Gapura Jedong, Candi Kendalisodo, Candi Belahan, dan sebagainya. Hingga saat ini BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Trowulan Mojokerto mencatat 80 situs percandian.
Dan penemuan terus menerus bertambah hingga mencapai hampir 200-an dan bahkan masyarakat lokal banyak yang menyatakan tidak kurang dari 300-an situs ditemukan. Termasuk di kaki dan lembah Gunung Penanggungan.
Pada tahun 1042 Airlangga turun tahta menjadi resi atau pertapa. Menurut Serat Calon Arang, ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah Prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Dalam kamus bahasa Indonesia, Resi dapat diartikan sebagai petapa (pencari ilmu) atau orang suci. Dalam pemaknaan atas kata, maka nampak memiliki hubungan yang erat dengan arti dari kata PAWITRA yang berarti air suci atau yang dapat dimaknai sebagai ilmu pengetahuan pada masa itu.
Maka, Gunung Penanggungan (Pawitra) merupakan tempat ilmu pengetahuan (kampus) dimana seseorang menimba ilmu. Gunung Penanggungan diartikan sebagai “tempat mencari ilmu” atau “Pertapaan” bagi “petapa” (Pencari Ilmu) .
Menurut Serat Calon Arang, terceritakan bahwa Prabu Airlangga memiliki seorang guru yang bernama Mpu Bharada. Dan jika Gunung Penanggungan adalah kampus atau tempat belajar, maka Prabu Airlangga pun pernah belajar (meguru) pada Mpu Bharada di (kampus) Gunung Penanggungan.
Artinya, Gunung Pawitra atau yang sekarang disebut dengan Gunung Penanggungan, dapat diduga adalah tempat belajar para Mpu, Resi, atau apapun gelar-gelar terhormat/ bangsawan pada saat itu untuk menimba ilmu.
Perlu juga diketahui bahwa di area Gunung Penanggungan terdapat banyak gua-gua atau situs yang lebih mirip dengan tempat peristirahatan (bertapa) yang dapat pula dimaknai (identik ) dengan asrama bagi para mahasiswa pada jamannya.


Namun jika dikaitkan dengan predikat yang disandang Raja Airlangga dan simbol-simbol yangada di relief-relief situs di Gunung Penaggungan, bahwa Prabu Airlangga adalah Maha Guru/ Resi yang setelah masa jabatannya usai, menetap serta wafat di Gunung Penanggungan.
Tidak diketahui pasti kapan Airlangga wafat. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau patirtan.
Seperti yang diterangkan dimuka Prabu Airlangga setelah wafat diabadikan dalam bentuk patung Bathara Guru yang berada di Patirtan Jolotundo (sisi barat Gunung Penanggungan) dan di Candi Belahan (Sumber Tetek) sebelah timur Gunung Penanggungan, dimana hingga saat ini kedua tempat tersebut ramai dikunjungi para wisatawan.  


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 


Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 - 08122908585

Siti Inggil, Petilasan Pendiri Majapahit

Dengan menyebut nama Raden Wijaya otomatis pola piker kita akan tertuju pada agungnya Kerajaan Majapahit. Puing-puing peninggalan kerajaan besar itu bisa disaksikan secara kasat mata di berbagai desa di wilayah Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Satu diantaranya Siti Inggil, sebuah petilasan Raden Wijaya yang jadi cikal bakal lahirnya Majapahit di tahun 1293 Saka atau sekitar 1500 Masehi. Petilasan yang sebelumnya populer dengan istilah Lemah Geneng itu berada di dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Petilasan raja yang masa kecilnya dipanggil Djoko Suruh berbentuk makam dengan panjang sekitar 2 meter lebih. Masyarakat desa sekitar turun temurun meyakini jika di dalam komplek bangunan makam itu bukan jenazah Raden Wijaya. Melainkan hanya sebagian abu dari jenazahnya yang dibakar.
Mengingat dalam era Majapahit dikenal agama ’budi’ dengan sebagian Hindu. Agama Islam-lah yang mengajarkan pemakaman bagi yang meninggal dunia. Masyarakat era Majapahit mengenalnya dengan istilah mukso (menghilang) atau diperabukan. Abu inilah yang kemudian disimpan di candi ataupun dilarung ke laut.
Abdul Ghofur juru kunci Siti Inggil mengatakan, jika Siti Inggil merupakan petilasan dari raja yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana atau Brawijaya pertama. “Ini petilasan sang Prabu Raden Wijaya,” kata juru kunci berusia 54 tahun tersebut.
Di dalam kompleks petilasan yang berbentuk makam terdapat beberapa nisan. Selain makam Raden Wijaya yang paling besar dan panjang. Juga terdapat empat makam lainnya. Yaitu, Permaisuri Brawijaya pertama Gayatri. Juga dua isteri selir, Ndoro Petak dan Ndoro Jinggo.
“Selir pertama disebut Ndoro Petak karena kulitnya putih karena beliau memang dari Tiongkok. Begitupun dengan Ndoro Jinggo artinya perempuan terhormat berkulit kuning dari Kamboja,” terang Ghofur. Selain itu ada juga makam dari abdi kinasih atau abdi dalem dari Hayam Wuruk dan permaisuri.
Sapuangin dan Sapujagad
Diantara bangunan makam yang ada di komplek Siti Inggil terdapat dua makam cukup mencolok untuk diamati. Selain posisinya di luar komplek bangunan utama petilasan Raden Wijaya, dua makam itu berada tepat di sebelah kiri sebelum memasuki bangunan petilasan yang selalu terkunci.
Pada batu nisan di dua makam itu tertuliskan huruf besar. Sapu Angin dan Sapu Jagad. Kuncup nisannya selalu dibungkus dengan kain berwana kuning. Dupa yang ada di dalam anglo kecil mengepul asap dan tampak bunga segar. Jelas jika makam tersebut selalu dikunjungi.
Ghofur mengatakan, jika dua makam berukuran panjang 2 meter lebih itu merupakan makam asli. Artinya, ada kerangka manusia dengan panjang sekitar 170 cm.
“Kami tahu persis karena pernah dibongkar di tahun 1970 lalu. Kerangkanya dibawa ke pendopo sebelah atas itu dan kemudian disempurnakan dan dikuburkan kembali. Sampai sekarang,” kata Ghofur.
Dua nama Sapu Jagad dan Sapu Angin menurutnya bukan nama asli mereka. Melainkan gelar dari Kerajaan Majapahit atas ilmu yang dimiliki. Dua sosok itu merupakan ajudan dari Raden Wijaya. Sebelumnya, dua sosok yang tidak diketahui namanya dikenal sebagai prajurit dan pengikut setia menantu Kertanegara Raja Singosari tersebut.
Pada masa-masa sulitnya Raden Wijaya, dua sosok inilah yang terus mendampingi. Hingga menumpas Raja Jayakatwang yang memimpin Kerajaan Doho di Kediri. Tentu saja melalui muslihat dan mengelabuhi pasukan tentara Mongol yang bermaksud menumpas kerajaan Singosari.
“Eyang Sapu Jagad itu gelar untuk ajudan yang menguasai kekuatan alam. Sedangkan eyang Sapu Angin gelar yang diberikan untuk ajudannya yang punya kemampuan menguasai kekuatan angin,” tutur Ghofur tentang dua makam teresbut. )
Sanggar Pamujan 
Diantara beberapa bangunan yang ada di komplek Siti Inggil terhadap bangunan yang menyita perhatian. Itulah Sanggar Pamujan atau tempat pemujaan yang dipakai Raden Wijaya melakukan semedi atau bertapa.
Pada bangunan yang tingginya sekitar 3 x 3 meter dari permukaan tanah itulah untuk pertama kalinya Raden Wijaya mendapatkan ‘Wahyu Keprabon’. Atau bisa diartikan mendapatkan wangsit untuk mendirikan Kerajaan Majapahit.
Menariknya, bangunan dari bata merah yang hanya ditumpuk-tumpuk tersebut bentuknya menyerupai tempat Imam memimpin sholat dalam sebuah musholah atau masjid.
Akan halnya melakukan ritual semedi, Raden Wijaya melakukannya dengan cara menghadap ke Barat. Sama persis kaum muslim saat melakukan sholat menghadap kiblat. Padahal, kala itu, agama Islam belum dikenal di kerajaan yang didirikan di tanggal 15 tahun Saka 1215 tersebut.
“Jadi kalau dibanding-bandingkan dengan agama Islam, rasanya ada persamaan. Khususnya dalam Sanggar Pamujaan Sinuwun Raja Brawijaya pertama,” kata Ghofur. Dicontohkan, selain tempat bersemedi yang seukuran dengan sajadah sholat, bangunan Sanggar Pamujaan juga berbentuk persegi empat. Berbentuk kubus atau kotak. Sama dengan Ka’bah yang ada di Makkah.
Sesuai namanya, Sanggar Pamujan, merupakan tempat Raden Wijaya melakukan pemujaan atau tempat memuji. Kepada siapa? “Ya, kepada Sang Hyang Widi Wase atau kepada Yang Maha Kuasa,” tutur Ghofur. Jadi, kata Ghofur lagi, kalau dibanding-bandingkan akan sama dengan agama-agama yang sekarang ini. Beliau, Sinuwun Prabu juga melakukan pemujaan terhadap Yang Diyakini. Sanggar Pamujan itu tidak lain tempat berdoa.
Sanggar Pamujan yang ada dalam komplek Siti Inggil tidak pernah dibangun atau dipugar keberadaannya. Melainkan hanya diperkokoh agar tidak rusak dan runtuh di makan waktu. Maklumlah, bangunan asli hanyalah berupa batu-batu merah yang hanya ditumpuk-tumpuk tanpa adanya perekat.
“Semua bangunan yang ada di sini, asli. Tidak ada yang dirubah ataupun diubah bentuknya,” kata Ghofuf lagi. Hanya saja, untuk memperkokoh dan tidak mudah rusak, hanya dipoles agar kuat saja.
Tempat Ziarah Tokoh Negara
Meskipun terletak di desa terpecil sekalipun, Sanggar Pamujan selalu ramai. Di hari-hari tertentu bahkan sangat padat. Misalkan Jumat legi atau Jumat manis. Ratusan pengunjung dari berbagai sudut kota hadir di tempat yang di kanan dan kirinya masih berupa ladang tebu itu.
Tidak sedikit tokoh dan pejabat berkunjung untuk sekedar berziarah dan mengunjungi situs bersejarah tersebut. Mulai dari politisi, pejabat lokal, pejabat negara, pengusaha hingga sekelas Presiden sekalipun. Kunjungan pejabat itu dilakukan sejak era Presiden Soekarno berkuasa.
Ghofur minta tidak menuliskan nama-nama tokoh negara yang pernah mengunjungi. Begitu juga penguasa yang pernah secara khusus datang ke lokasi makam yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar itu.
“Tidak etislah. Pastinya banyak ya, tokoh-tokoh yang ke sini. Baik lokal maupun dari Jakarta,” terangnya.
Hanya saja, diantara tokoh negara yang punya kepedulian besar terhadap keberadaan Siti Inggil adalah mantan Presiden RI, Soeharto. Sebelum menjabat hingga menjadi Presiden, menurut Ghofur, presiden yang memimpin Indonesia selama 30 tahun itu rajin berkunjung.

Bahkan, tingginya kepedulian Presiden Kedua RI Soeharto itu dilakukan dengan cara membenahi seluruh isi bangunan yang ada di Siti Inggil. Bangunan yang awalnya hanya berupa batu-bata merah ditumpuk, oleh Soeharto diperbaiki.
“Semua masih asli seperti apa adanya dulu,” terang Ghofur. Sebagai bukti jika bangunan peninggalan Raden Wijaya itu asli, bagian bawah bangunan yang sudah dibalut keramik dibiarkan asli. Sehingga, tampak tumpukan-tumpukan batu-batanya berselimut lumut hijau. “Mengenai kepala negara yang pernah hadir itu dari cerita orangtua dan mbah-mbah saya,” tambah lelaki berkulit hitam itu.  


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 



Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 - 08122908585


Penguasa Dunia Gaib Bumi Nusantara

Bumi Nusantara atau yang lebih dikenal dengan sebutan Indonesia dari dulu hingga kini dikenal sebagai Negara yang kaya  akan cerita mistis. Kisah-kisah mistis ini merupakan warisan leluhur yang biasanya bercerita tentang hantu, tokoh legenda hingga sosok-sosok wanita mistis yang konon merupakan penguasa dunia gaib di nusantara.
Sosok wanita mistis ini biasanya digambarkan sebagai ratu dari makhluk-makluk gaib ataupun ada juga yang merupakan makhluk yang miliki kekuatan mistis yang besar. Kisah dari wanita-wanita mistis ini terus dipercaya hingga saat ini, karena kultur masyarakat kita yang memang lekat dengan hal-hal mistis.
Jadi bukan hal yang mengejutkan jika kadang kita mendengar tentang suatu tempat yang dikeramatkan atau larangan tertentu di suatu wilayah yang berhubungan dengan hal gaib.
Termasuk diantaranya larangan untuk menggunakan pakaian berwarna hijau di wilayah pesisir Pantai Selatan. Larangan ini sendiri berhubungan dengan legenda Nyi Roro Kidul yang konon amat menyukai warna hijau, hingga apapun yang ada di istananya termasuk para pelayan semuanya mengenakan atribut berwarna hijau.
Jadi saat ada orang yang memakai pakaian berwarna hijau di Pantai Selatan, konon Nyi Roro Kidul akan mengira orang itu adalah salah satu pelayannya dan akan membawa orang tersebut kembali ke laut.
Berikut beberapa kisah Sosok Wanita Mistis Penguasa Dunia Gaib Di Nusantara, versi anehdidunia.com
Ratu Jujung Buih
Menurut Hikayat Banjar, Ratu junjung Buih merupakan putri dari kerajaan Amutai (Dipa). Namun berbeda dengan saudara-saudaranya putri Junjung Buih bukanlah anak biasa, karena ayahnya Ngabehi Hiller, mendapatkan putri Junjung Buih lewat cara “Balampah”  yang berarti bertapa dalam bahasa Banjar.
Menurut legenda yang ada, konon dulu Raja Ngabehi Hiller memiliki 2 orang putra yaitu Patma Raga dan Sukma Raga. Saat merasa telah tua Raja Ngabehi Hiller kemudian menyerahkan tahtanya pada kedua putranya tersebut dengan menunjuk Patma Raga yang bertindak sebagai Raja Tertua, dan Sukma Raga sebagai Raja muda.
Setelah menyerahkan tahtanya Ngabehi kemudian merasa kesepian hingga memutuskan untuk bertapa untuk memunta keturunan.
Sepulangnya Ngabehi Hiller dari pertapaan, dia kemudian menemukan seorang bayi terapung di laut. Namun anehnya bayi tersebut tak menangis dan bahkan bisa berbicara. Bayi itu kemudian mengatakan pada Ngabehi Hiller kalau ia ingin membawanya pulang maka ia harus membuatkan selembar kain dan selimut telun yang harus selesai dalam setengah hari.
Selain itu bayi tersebut juga minta untuk dijemput oleh 40 wanita cantik. Setelah memenuhi semua semua permintaan bayi tersebut, Ngabehi Hiller kemudian membaya bayi itu pulang dan menamainya Junjung Buih berarti Putri yang ditemukan dalam buih raksasa. Sosok putri inilah yang konon kemudian menjadi penguasa Selat Kalimata.
Di Selat ini pulalah pesawat Air Asia QZ8501 diduga menghilang pada 28 Desember 2014. Karena itu banyak orang yang mempercayai kalau Ratu Junjung Buih adalah sosok yang menyembunyikan badan pesawat Air Asia hingga tak kunjung ditemukan.

Nyai Gadung Melati
Nama Nyai Gadung Melati mungkin masih terdengar asing ditelinga kebanyaan orang. Namun sosok inilah yang dipercaya sebagai Ratu dari seluruh makhluk halus yang ada di Gunung Merapi. Sosok yang dalam sejarahnya konon dekat dengan Patih Gajah Mada ini dipercaya sebagai penjaga keseimbangan dunia gaib di Gunung Merapi.
Nyai Gadung Melati dipercaya merupakan penguasa Gunung Wutoh yang menjadi gerbang ke dunia mistis yang ada di Gunung Merapi. Dengan adanya Nyai Gadung Melati, maka makhluk halus yang ada di sekitar gunung tak akan mengganggu manusia. Selain menjadi Ratu dari para makhluk halus Nyai Gadung Melati juga dipercaya merupakan orang yang bertugas menjaga kelestarian alam di sekitar Gunung Merapi.
Dalam kisah legendanya Nyai Gadung Melati konon juga akan muncul dalam mimpi warga Merapi saat akan terjadi bencana. Karena itu saat ada orang yang merasa ditemui oleh Nyai Gadung Melati, dalam mimpinya maka warga akan lebih waspada karena tahu akan ada bahaya yang datang dari Gunung Merapi.
Nyi Rantamsari
Nyi Rantamsari atau biasa juga disebut Dewi Ratamsari merupakan sosok wanita mistis yang sangat disegani di wilayah pantai utara Jawa. Sosok ini dipercaya merupakan saudara dari Nyi Roro Kidul, sekaligus Ratu dari pantai Utara Jawa. Karena itu masyarakat di wilayah utara jawa mulai dari Cirebon hingga Tegal biasanya mengeramatkan sosok wanita yang satu ini.
Sangking sakralnya, pada hari-hari khusus warga disekitar pesisir pantai Utara bahkan akan mempersiapkan sesajen dan juga menggelar kesenian Sintren untuk menghormati Nyi Ratamsari. Saat kesenian ini dimainkan biasanya ada saja penari yang kerasukan, hal ini menurut warga merupakan pertanda baik karena saat seorang penari kerasukan itu tandanya sesajen mereka telah diterima oleh Nyi Ratamsari.
Mak Lampir
Sosok mistis yang satu ini tentu sudah sangat familiar di telinga kebanyakan orang Indonesia. Mak Lampir atau kadang juga disebut Nenek Lampir, merupakan sosok wanita mistis asal Sumatra Barat yang telah melegenda di seantero nusantara.
Menurut legendanya Mak Lampir konon dulunya merupakan seorang putri cantik asal kerajaan Champa. Putri cantik ini kemudian jatuh hati dengan seorang dengan seorang panglima perang bernama Datuk Panglima Kumbang. Sayangnya kisah cinta ini ditentang oleh orang tua Datuk Panglima Kumbang.
Hal ini mengakibatkan putri tersebut sakit hati sampai akhirnya memutuskan untuk bertapa di atas Gunung Marapi yang ada di Bukittinggi. Saat bertapa inilah ia kemudian bertemu seorang petapa sakti yang mengajarinya berbagai ilmu hitam, sampai putri tersebut jadi sakti mandraguna.
Setelah sakti putri tadi kemudian bermaksud untuk menemui orang yang dia cintai, sayangnya saat itu Datuk Panglima Kumbang, justru telah mati dalam sebuah peperangan. Mengetahui hal ini, putri tadi merasa sangat sedih sampai akihrnya dia memutuskan untuk menghidupkan kembali Datuk Panglima Kumbang dengan ilmu yang ia miliki.
Tapi ilmu ini bukanlah ilmu biasa karena membuat wajah putri tadi menjadi buruk rupa sebagai tumbal untuk menghidupkan kembali Datuk Panglima Kumbang. Sayangnya pengorbanan putri tadi justru tak dianggap oleh Datuk Panglima Kumbang yang justru menganggap Mak Lampir merupakan ancaman bagi manusia karena ilmu yang dia miliki.
Akibat hal ini Mak Lampir kemudian jadi sakit hati dan menyimpan dendam pada manusia hingga ia memutuskan untuk bersekutu dengan kalangan jin dan iblis untuk membentuk kerajaan gaib guna memerangi manusia. Mak Lampir pun kemudian pindah ke tanah Jawa dan membangun kerajan Iblisnya di Gunung Merapi.
Nyi Blorong
Nyi Blorong merupakan sosok wanita mistis yang separuh tubuhnya konon menyerupai ular. Menurut legendanya Nyi Blorong konon merupakan pemimpin dari pasukan gaib dari Nyi Roro Kidul yang bertugas menjaga Istana pantai Selatan.
Nyi Blorong sendiri konon dulunya merupakan seorang putri cantik bernama Nyimas Dewi Anggatasarim, cucu dari Raja Caringin XI. Sayangnya ia diusir dari kerajaan karena telah berbuat kesalahan. Setelah diusir dan keluar dari isatana Nyimas Dewi Anggatasari inilah ia tanpa sengaja memasuki gerbang Istana Laut Selatan karena tersesat.
Saat itulah ia kemudian bertemu dengan Nyi Roro Kidul yang kemudian memberikanya kesaktian dan menugaskanya sebagai penjaga gerbang Istana Laut Selatan. Sejak saat itulah Nyimas Dewi Anggatasari kemudian dikenal sebagai Nyi Blorong. Karena kesaktiannya inilah banyak orang hingga saat ini banyak yang meminta pesugihan kepada Nyi Blorong.
Namun untuk mendapatkan pesugihan ini bukan cara yang mudah, karena seseorang harus siap memberikan tumbal nyawa manusia sebagai ganti kekayaan yang ia dapat dari Nyi Blorong.
Nyi Roro Kidul
Kebanyakan orang pada umumnya mengira kalau Nyi Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul merupakan sosok yang sama. Padahal anggapan ini sebenarnya salah besar karena Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul sebenarnya adalah 2 sosok wanita mistis yang berbeda.
Dalam Mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu, yang bertugas di dunia sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) yang memiliki sifat welas asih. Sedangkan Nyi Roro Kidul merupakan seorang putri dari Kerajaan Sunda Pajajaran yang di usir oleh Ayahnya karena fitnah dari sang Ibu tiri. Menurut cerita legenda yang ada, konon dulu di Kerajaan Pajajran, terdapat seorang putri bernama Dewi Kandita yang berparas sangat cantik.
Namun karena mendapat guna-guna dari Ibu tirinya, Dewi Kandita kemudian menderita penyakit aneh yang membuat kulitnya membusuk. Karena penyakit ini Dewi Kandita kemudian merasa putus asa sampai akhirnya memutuskan untuk melarikan diri ke laut Selatan (dalam versi lain di usir raja) untuk bunuh diri dengan terjun ke laut.
Tapi bukannya mati setelah terjun ke laut, penyakit kulit yang diderita Dewi Kandita malah sembuh. Hal ini konon terjadi karena bantuan Kanjeng Ratu Kidul yang merasa kasihan pada Dewi Kandita. Sayangnya kesembuhan ini tidaklah gratis karena sebagai gantinya, Dewi Kandita harus menjadi abdi setia Kanjeng Ratu Kidul dan dijadikan pemimpim dari para lelembut yang ada di laut Selatan. Sejak itulah penampilan Dewi Kandita mulai berubah dan identik dengan segala sesuatu yang berwarnya hijau dan mulai dikenal dengan nama Nyi Roro Kidul.  



Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 



Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 - 08122908585
                      https://djengasih.com/blog/memaksimalkan-dayamagnet-dalam-diri-anda

Menelisik Dunia Alam Gaib dan Suasana Kehidupannya

D alam dunia ini sebenarnya memiliki tujuh macam alam ghaib dan kehidupan, termasuk alam yang dihuni oleh manusia. Masing-masing alam dit...