Satu diantaranya Siti Inggil, sebuah petilasan
Raden Wijaya yang jadi cikal bakal lahirnya Majapahit di tahun 1293 Saka atau
sekitar 1500 Masehi. Petilasan yang sebelumnya populer dengan istilah Lemah
Geneng itu berada di dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto.
Petilasan raja yang masa kecilnya dipanggil
Djoko Suruh berbentuk makam dengan panjang sekitar 2 meter lebih. Masyarakat
desa sekitar turun temurun meyakini jika di dalam komplek bangunan makam itu
bukan jenazah Raden Wijaya. Melainkan hanya sebagian abu dari jenazahnya yang
dibakar.
Mengingat dalam era Majapahit dikenal agama
’budi’ dengan sebagian Hindu. Agama Islam-lah yang mengajarkan pemakaman bagi
yang meninggal dunia. Masyarakat era Majapahit mengenalnya dengan istilah mukso
(menghilang) atau diperabukan. Abu inilah yang kemudian disimpan di candi
ataupun dilarung ke laut.
Abdul Ghofur juru kunci Siti Inggil
mengatakan, jika Siti Inggil merupakan petilasan dari raja yang bergelar
Kertarajasa Jayawardhana atau Brawijaya pertama. “Ini petilasan sang Prabu
Raden Wijaya,” kata juru kunci berusia 54 tahun tersebut.
Di dalam kompleks petilasan yang berbentuk
makam terdapat beberapa nisan. Selain makam Raden Wijaya yang paling besar dan
panjang. Juga terdapat empat makam lainnya. Yaitu, Permaisuri Brawijaya pertama
Gayatri. Juga dua isteri selir, Ndoro Petak dan Ndoro Jinggo.
“Selir pertama disebut Ndoro Petak karena
kulitnya putih karena beliau memang dari Tiongkok. Begitupun dengan Ndoro
Jinggo artinya perempuan terhormat berkulit kuning dari Kamboja,” terang
Ghofur. Selain itu ada juga makam dari abdi kinasih atau abdi dalem dari Hayam
Wuruk dan permaisuri.
Sapuangin dan
Sapujagad
Diantara bangunan makam yang ada di komplek Siti Inggil terdapat dua makam cukup mencolok untuk diamati. Selain posisinya di luar komplek bangunan utama petilasan Raden Wijaya, dua makam itu berada tepat di sebelah kiri sebelum memasuki bangunan petilasan yang selalu terkunci.
Diantara bangunan makam yang ada di komplek Siti Inggil terdapat dua makam cukup mencolok untuk diamati. Selain posisinya di luar komplek bangunan utama petilasan Raden Wijaya, dua makam itu berada tepat di sebelah kiri sebelum memasuki bangunan petilasan yang selalu terkunci.
Pada batu nisan di dua makam itu tertuliskan
huruf besar. Sapu Angin dan Sapu Jagad. Kuncup nisannya selalu dibungkus dengan
kain berwana kuning. Dupa yang ada di dalam anglo kecil mengepul asap dan
tampak bunga segar. Jelas jika makam tersebut selalu dikunjungi.
Ghofur mengatakan, jika dua makam berukuran
panjang 2 meter lebih itu merupakan makam asli. Artinya, ada kerangka manusia
dengan panjang sekitar 170 cm.
“Kami tahu persis karena pernah dibongkar di
tahun 1970 lalu. Kerangkanya dibawa ke pendopo sebelah atas itu dan kemudian
disempurnakan dan dikuburkan kembali. Sampai sekarang,” kata Ghofur.
Dua nama Sapu Jagad dan Sapu Angin menurutnya
bukan nama asli mereka. Melainkan gelar dari Kerajaan Majapahit atas ilmu yang
dimiliki. Dua sosok itu merupakan ajudan dari Raden Wijaya. Sebelumnya, dua
sosok yang tidak diketahui namanya dikenal sebagai prajurit dan pengikut setia
menantu Kertanegara Raja Singosari tersebut.
Pada masa-masa sulitnya Raden Wijaya, dua
sosok inilah yang terus mendampingi. Hingga menumpas Raja Jayakatwang yang
memimpin Kerajaan Doho di Kediri. Tentu saja melalui muslihat dan mengelabuhi
pasukan tentara Mongol yang bermaksud menumpas kerajaan Singosari.
“Eyang Sapu Jagad itu gelar untuk ajudan yang
menguasai kekuatan alam. Sedangkan eyang Sapu Angin gelar yang diberikan untuk
ajudannya yang punya kemampuan menguasai kekuatan angin,” tutur Ghofur tentang
dua makam teresbut. )
Sanggar Pamujan
Diantara beberapa bangunan yang ada di komplek Siti Inggil terhadap bangunan yang menyita perhatian. Itulah Sanggar Pamujan atau tempat pemujaan yang dipakai Raden Wijaya melakukan semedi atau bertapa.
Diantara beberapa bangunan yang ada di komplek Siti Inggil terhadap bangunan yang menyita perhatian. Itulah Sanggar Pamujan atau tempat pemujaan yang dipakai Raden Wijaya melakukan semedi atau bertapa.
Pada bangunan yang tingginya sekitar 3 x 3
meter dari permukaan tanah itulah untuk pertama kalinya Raden Wijaya
mendapatkan ‘Wahyu Keprabon’. Atau bisa diartikan mendapatkan wangsit untuk
mendirikan Kerajaan Majapahit.
Menariknya, bangunan dari bata merah yang
hanya ditumpuk-tumpuk tersebut bentuknya menyerupai tempat Imam memimpin sholat
dalam sebuah musholah atau masjid.
Akan halnya melakukan ritual semedi, Raden
Wijaya melakukannya dengan cara menghadap ke Barat. Sama persis kaum muslim
saat melakukan sholat menghadap kiblat. Padahal, kala itu, agama Islam belum
dikenal di kerajaan yang didirikan di tanggal 15 tahun Saka 1215 tersebut.
“Jadi kalau dibanding-bandingkan dengan agama
Islam, rasanya ada persamaan. Khususnya dalam Sanggar Pamujaan Sinuwun Raja
Brawijaya pertama,” kata Ghofur. Dicontohkan, selain tempat bersemedi yang
seukuran dengan sajadah sholat, bangunan Sanggar Pamujaan juga berbentuk
persegi empat. Berbentuk kubus atau kotak. Sama dengan Ka’bah yang ada di
Makkah.
Sesuai namanya, Sanggar Pamujan, merupakan
tempat Raden Wijaya melakukan pemujaan atau tempat memuji. Kepada siapa? “Ya,
kepada Sang Hyang Widi Wase atau kepada Yang Maha Kuasa,” tutur Ghofur. Jadi,
kata Ghofur lagi, kalau dibanding-bandingkan akan sama dengan agama-agama yang
sekarang ini. Beliau, Sinuwun Prabu juga melakukan pemujaan terhadap Yang
Diyakini. Sanggar Pamujan itu tidak lain tempat berdoa.
Sanggar Pamujan yang ada dalam komplek Siti
Inggil tidak pernah dibangun atau dipugar keberadaannya. Melainkan hanya
diperkokoh agar tidak rusak dan runtuh di makan waktu. Maklumlah, bangunan asli
hanyalah berupa batu-batu merah yang hanya ditumpuk-tumpuk tanpa adanya
perekat.
“Semua bangunan yang ada di sini, asli. Tidak
ada yang dirubah ataupun diubah bentuknya,” kata Ghofuf lagi. Hanya saja, untuk
memperkokoh dan tidak mudah rusak, hanya dipoles agar kuat saja.
Tempat Ziarah Tokoh
Negara
Meskipun terletak di desa terpecil sekalipun, Sanggar Pamujan selalu ramai. Di hari-hari tertentu bahkan sangat padat. Misalkan Jumat legi atau Jumat manis. Ratusan pengunjung dari berbagai sudut kota hadir di tempat yang di kanan dan kirinya masih berupa ladang tebu itu.
Meskipun terletak di desa terpecil sekalipun, Sanggar Pamujan selalu ramai. Di hari-hari tertentu bahkan sangat padat. Misalkan Jumat legi atau Jumat manis. Ratusan pengunjung dari berbagai sudut kota hadir di tempat yang di kanan dan kirinya masih berupa ladang tebu itu.
Tidak sedikit tokoh dan pejabat berkunjung
untuk sekedar berziarah dan mengunjungi situs bersejarah tersebut. Mulai dari
politisi, pejabat lokal, pejabat negara, pengusaha hingga sekelas Presiden
sekalipun. Kunjungan pejabat itu dilakukan sejak era Presiden Soekarno
berkuasa.
Ghofur minta tidak menuliskan nama-nama tokoh
negara yang pernah mengunjungi. Begitu juga penguasa yang pernah secara khusus
datang ke lokasi makam yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar itu.
“Tidak etislah. Pastinya banyak ya,
tokoh-tokoh yang ke sini. Baik lokal maupun dari Jakarta,” terangnya.
Hanya saja, diantara tokoh negara yang punya
kepedulian besar terhadap keberadaan Siti Inggil adalah mantan Presiden RI,
Soeharto. Sebelum menjabat hingga menjadi Presiden, menurut Ghofur, presiden
yang memimpin Indonesia selama 30 tahun itu rajin berkunjung.
Bahkan, tingginya kepedulian Presiden Kedua RI Soeharto itu dilakukan dengan cara membenahi seluruh isi bangunan yang ada di Siti Inggil. Bangunan yang awalnya hanya berupa batu-bata merah ditumpuk, oleh Soeharto diperbaiki.
Bahkan, tingginya kepedulian Presiden Kedua RI Soeharto itu dilakukan dengan cara membenahi seluruh isi bangunan yang ada di Siti Inggil. Bangunan yang awalnya hanya berupa batu-bata merah ditumpuk, oleh Soeharto diperbaiki.
“Semua masih asli seperti apa adanya dulu,” terang Ghofur.
Sebagai bukti jika bangunan peninggalan Raden Wijaya itu asli, bagian bawah
bangunan yang sudah dibalut keramik dibiarkan asli. Sehingga, tampak
tumpukan-tumpukan batu-batanya berselimut lumut hijau. “Mengenai kepala negara
yang pernah hadir itu dari cerita orangtua dan mbah-mbah saya,” tambah lelaki
berkulit hitam itu.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 -
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar