Selasa, 27 Maret 2018

Siti Inggil, Petilasan Pendiri Majapahit

Dengan menyebut nama Raden Wijaya otomatis pola piker kita akan tertuju pada agungnya Kerajaan Majapahit. Puing-puing peninggalan kerajaan besar itu bisa disaksikan secara kasat mata di berbagai desa di wilayah Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Satu diantaranya Siti Inggil, sebuah petilasan Raden Wijaya yang jadi cikal bakal lahirnya Majapahit di tahun 1293 Saka atau sekitar 1500 Masehi. Petilasan yang sebelumnya populer dengan istilah Lemah Geneng itu berada di dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Petilasan raja yang masa kecilnya dipanggil Djoko Suruh berbentuk makam dengan panjang sekitar 2 meter lebih. Masyarakat desa sekitar turun temurun meyakini jika di dalam komplek bangunan makam itu bukan jenazah Raden Wijaya. Melainkan hanya sebagian abu dari jenazahnya yang dibakar.
Mengingat dalam era Majapahit dikenal agama ’budi’ dengan sebagian Hindu. Agama Islam-lah yang mengajarkan pemakaman bagi yang meninggal dunia. Masyarakat era Majapahit mengenalnya dengan istilah mukso (menghilang) atau diperabukan. Abu inilah yang kemudian disimpan di candi ataupun dilarung ke laut.
Abdul Ghofur juru kunci Siti Inggil mengatakan, jika Siti Inggil merupakan petilasan dari raja yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana atau Brawijaya pertama. “Ini petilasan sang Prabu Raden Wijaya,” kata juru kunci berusia 54 tahun tersebut.
Di dalam kompleks petilasan yang berbentuk makam terdapat beberapa nisan. Selain makam Raden Wijaya yang paling besar dan panjang. Juga terdapat empat makam lainnya. Yaitu, Permaisuri Brawijaya pertama Gayatri. Juga dua isteri selir, Ndoro Petak dan Ndoro Jinggo.
“Selir pertama disebut Ndoro Petak karena kulitnya putih karena beliau memang dari Tiongkok. Begitupun dengan Ndoro Jinggo artinya perempuan terhormat berkulit kuning dari Kamboja,” terang Ghofur. Selain itu ada juga makam dari abdi kinasih atau abdi dalem dari Hayam Wuruk dan permaisuri.
Sapuangin dan Sapujagad
Diantara bangunan makam yang ada di komplek Siti Inggil terdapat dua makam cukup mencolok untuk diamati. Selain posisinya di luar komplek bangunan utama petilasan Raden Wijaya, dua makam itu berada tepat di sebelah kiri sebelum memasuki bangunan petilasan yang selalu terkunci.
Pada batu nisan di dua makam itu tertuliskan huruf besar. Sapu Angin dan Sapu Jagad. Kuncup nisannya selalu dibungkus dengan kain berwana kuning. Dupa yang ada di dalam anglo kecil mengepul asap dan tampak bunga segar. Jelas jika makam tersebut selalu dikunjungi.
Ghofur mengatakan, jika dua makam berukuran panjang 2 meter lebih itu merupakan makam asli. Artinya, ada kerangka manusia dengan panjang sekitar 170 cm.
“Kami tahu persis karena pernah dibongkar di tahun 1970 lalu. Kerangkanya dibawa ke pendopo sebelah atas itu dan kemudian disempurnakan dan dikuburkan kembali. Sampai sekarang,” kata Ghofur.
Dua nama Sapu Jagad dan Sapu Angin menurutnya bukan nama asli mereka. Melainkan gelar dari Kerajaan Majapahit atas ilmu yang dimiliki. Dua sosok itu merupakan ajudan dari Raden Wijaya. Sebelumnya, dua sosok yang tidak diketahui namanya dikenal sebagai prajurit dan pengikut setia menantu Kertanegara Raja Singosari tersebut.
Pada masa-masa sulitnya Raden Wijaya, dua sosok inilah yang terus mendampingi. Hingga menumpas Raja Jayakatwang yang memimpin Kerajaan Doho di Kediri. Tentu saja melalui muslihat dan mengelabuhi pasukan tentara Mongol yang bermaksud menumpas kerajaan Singosari.
“Eyang Sapu Jagad itu gelar untuk ajudan yang menguasai kekuatan alam. Sedangkan eyang Sapu Angin gelar yang diberikan untuk ajudannya yang punya kemampuan menguasai kekuatan angin,” tutur Ghofur tentang dua makam teresbut. )
Sanggar Pamujan 
Diantara beberapa bangunan yang ada di komplek Siti Inggil terhadap bangunan yang menyita perhatian. Itulah Sanggar Pamujan atau tempat pemujaan yang dipakai Raden Wijaya melakukan semedi atau bertapa.
Pada bangunan yang tingginya sekitar 3 x 3 meter dari permukaan tanah itulah untuk pertama kalinya Raden Wijaya mendapatkan ‘Wahyu Keprabon’. Atau bisa diartikan mendapatkan wangsit untuk mendirikan Kerajaan Majapahit.
Menariknya, bangunan dari bata merah yang hanya ditumpuk-tumpuk tersebut bentuknya menyerupai tempat Imam memimpin sholat dalam sebuah musholah atau masjid.
Akan halnya melakukan ritual semedi, Raden Wijaya melakukannya dengan cara menghadap ke Barat. Sama persis kaum muslim saat melakukan sholat menghadap kiblat. Padahal, kala itu, agama Islam belum dikenal di kerajaan yang didirikan di tanggal 15 tahun Saka 1215 tersebut.
“Jadi kalau dibanding-bandingkan dengan agama Islam, rasanya ada persamaan. Khususnya dalam Sanggar Pamujaan Sinuwun Raja Brawijaya pertama,” kata Ghofur. Dicontohkan, selain tempat bersemedi yang seukuran dengan sajadah sholat, bangunan Sanggar Pamujaan juga berbentuk persegi empat. Berbentuk kubus atau kotak. Sama dengan Ka’bah yang ada di Makkah.
Sesuai namanya, Sanggar Pamujan, merupakan tempat Raden Wijaya melakukan pemujaan atau tempat memuji. Kepada siapa? “Ya, kepada Sang Hyang Widi Wase atau kepada Yang Maha Kuasa,” tutur Ghofur. Jadi, kata Ghofur lagi, kalau dibanding-bandingkan akan sama dengan agama-agama yang sekarang ini. Beliau, Sinuwun Prabu juga melakukan pemujaan terhadap Yang Diyakini. Sanggar Pamujan itu tidak lain tempat berdoa.
Sanggar Pamujan yang ada dalam komplek Siti Inggil tidak pernah dibangun atau dipugar keberadaannya. Melainkan hanya diperkokoh agar tidak rusak dan runtuh di makan waktu. Maklumlah, bangunan asli hanyalah berupa batu-batu merah yang hanya ditumpuk-tumpuk tanpa adanya perekat.
“Semua bangunan yang ada di sini, asli. Tidak ada yang dirubah ataupun diubah bentuknya,” kata Ghofuf lagi. Hanya saja, untuk memperkokoh dan tidak mudah rusak, hanya dipoles agar kuat saja.
Tempat Ziarah Tokoh Negara
Meskipun terletak di desa terpecil sekalipun, Sanggar Pamujan selalu ramai. Di hari-hari tertentu bahkan sangat padat. Misalkan Jumat legi atau Jumat manis. Ratusan pengunjung dari berbagai sudut kota hadir di tempat yang di kanan dan kirinya masih berupa ladang tebu itu.
Tidak sedikit tokoh dan pejabat berkunjung untuk sekedar berziarah dan mengunjungi situs bersejarah tersebut. Mulai dari politisi, pejabat lokal, pejabat negara, pengusaha hingga sekelas Presiden sekalipun. Kunjungan pejabat itu dilakukan sejak era Presiden Soekarno berkuasa.
Ghofur minta tidak menuliskan nama-nama tokoh negara yang pernah mengunjungi. Begitu juga penguasa yang pernah secara khusus datang ke lokasi makam yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar itu.
“Tidak etislah. Pastinya banyak ya, tokoh-tokoh yang ke sini. Baik lokal maupun dari Jakarta,” terangnya.
Hanya saja, diantara tokoh negara yang punya kepedulian besar terhadap keberadaan Siti Inggil adalah mantan Presiden RI, Soeharto. Sebelum menjabat hingga menjadi Presiden, menurut Ghofur, presiden yang memimpin Indonesia selama 30 tahun itu rajin berkunjung.

Bahkan, tingginya kepedulian Presiden Kedua RI Soeharto itu dilakukan dengan cara membenahi seluruh isi bangunan yang ada di Siti Inggil. Bangunan yang awalnya hanya berupa batu-bata merah ditumpuk, oleh Soeharto diperbaiki.
“Semua masih asli seperti apa adanya dulu,” terang Ghofur. Sebagai bukti jika bangunan peninggalan Raden Wijaya itu asli, bagian bawah bangunan yang sudah dibalut keramik dibiarkan asli. Sehingga, tampak tumpukan-tumpukan batu-batanya berselimut lumut hijau. “Mengenai kepala negara yang pernah hadir itu dari cerita orangtua dan mbah-mbah saya,” tambah lelaki berkulit hitam itu.  


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria 



Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 - 08122908585


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menelisik Dunia Alam Gaib dan Suasana Kehidupannya

D alam dunia ini sebenarnya memiliki tujuh macam alam ghaib dan kehidupan, termasuk alam yang dihuni oleh manusia. Masing-masing alam dit...